Al-Qur'an Surah Al-Maidah (Hidangan) adalah surah Madaniyah yang kaya akan ajaran syariat. Ayat kedua dari surah ini merupakan landasan etika fundamental dalam Islam, yang tidak hanya mengatur ritual ibadah tetapi juga prinsip hubungan sosial antarmanusia. Ayat ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar: larangan-larangan spesifik terkait kesucian ritual dan perintah umum mengenai etika sosial.
Secara spesifik, ayat ini dimulai dengan peringatan keras terhadap orang-orang yang beriman agar tidak melanggar kehormatan hal-hal yang disucikan Allah. Ini mencakup larangan melanggar syai'irullah (syiar-syiar Allah), seperti ritual haji dan umrah. Larangan ini diperluas pada bulan-bulan suci, binatang kurban yang sedang dalam perjalanan ke Ka'bah, dan yang terpenting, perlindungan terhadap orang yang sedang menuju Baitullah untuk mencari keridhaan Tuhan, meskipun mereka mungkin berasal dari pihak yang memiliki permusuhan sebelumnya.
Poin krusial lain adalah peringatan keras agar kebencian atau permusuhan masa lalu—seperti penghalangan kaum Quraisy terhadap Muslimin memasuki Masjidilharam—tidak menjadi alasan untuk berbuat melampaui batas dalam membalas dendam. Keadilan harus ditegakkan, bukan balas dendam pribadi.
Di tengah larangan-larangan tersebut, terselip sebuah perintah agung yang menjadi poros moralitas sosial dalam Islam: "Wa ta'āwanū 'alal birri wat taqwā, wa lā ta'āwanū 'alal itsmi wal 'udwān." (Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan). Ayat ini secara eksplisit mendefinisikan batas etis kerja sama sosial.
Al-Birr (kebajikan) merujuk pada segala bentuk perbuatan baik yang mendatangkan manfaat, baik secara spiritual maupun duniawi, yang sesuai dengan syariat. Ini mencakup membantu orang miskin, menasihati, menjaga kehormatan sesama, hingga membangun infrastruktur umat. Sedangkan At-Taqwā (ketakwaan) adalah landasan untuk memastikan bahwa kebajikan tersebut dilakukan semata-mata karena ketaatan kepada Allah.
Sebaliknya, ayat ini memberikan garis merah yang tidak boleh dilewati: al-itsm (dosa) dan al-'udwān (permusuhan/kezaliman). Tolong-menolong dalam hal-hal yang melanggar perintah Allah, merugikan sesama manusia, atau menyebarkan kerusakan di muka bumi adalah perbuatan yang dilarang keras. Bahkan jika tawaran bantuan datang dari pihak yang kita sukai, jika tujuannya adalah dosa, kita wajib menolaknya.
Ayat ini memiliki relevansi abadi. Dalam konteks masyarakat modern yang majemuk, perintah tolong-menolong dalam kebaikan mendorong umat Islam untuk menjadi agen perubahan positif. Ini menuntut solidaritas kemanusiaan universal, bukan hanya dalam lingkaran Muslim saja, selama perbuatan tersebut termasuk dalam kategori birr dan tidak bertentangan dengan taqwā. Sebagai contoh, berpartisipasi dalam program penyelamatan lingkungan atau bantuan bencana kemanusiaan adalah wujud nyata dari perintah ta'awun dalam Al-Maidah ayat 2.
Sebaliknya, ayat ini menjadi peringatan bagi individu atau kelompok yang menggunakan sumber daya atau pengaruh mereka untuk memfasilitasi kejahatan, penipuan, atau penyebaran kebohongan. Prinsip ini menekankan bahwa integritas moral harus menjadi parameter utama dalam setiap bentuk kerjasama atau aliansi. Akhir ayat yang menegaskan bahwa Allah Maha Berat siksa-Nya berfungsi sebagai penutup yang menguatkan bahwa kepatuhan terhadap batasan ini adalah masalah serius yang menyangkut keselamatan akhirat.
Oleh karena itu, Al-Maidah ayat 2 bukan sekadar aturan ritualistik masa lampau, melainkan sebuah piagam etika sosial Islam yang menuntut keseimbangan antara penghormatan terhadap hal yang sakral dan tanggung jawab aktif untuk membangun masyarakat yang adil dan bermoral melalui kerjasama yang berbasis ketakwaan.