Memahami Pesan Kemanusiaan dalam Al-Maidah Ayat 77-82

Ilustrasi Keadilan dan Persaudaraan Gambar SVG abstrak yang merepresentasikan jabat tangan di tengah lingkaran, melambangkan persatuan dan keadilan.

Kajian mendalam terhadap ayat-ayat suci Al-Qur'an seringkali membawa kita pada prinsip-prinsip universal yang melampaui batasan waktu dan tempat. Surah Al-Maidah, yang berarti "Hidangan", menyimpan banyak hikmah, termasuk dalam rentang ayat 77 hingga 82. Ayat-ayat ini secara khusus menyoroti isu keimanan, prioritas hidup, dan hubungan antarumat beragama, terutama dalam konteks sejarah kenabian.

Fokus Utama: Keimanan di Atas Segalanya (Al-Maidah: 77-78)

Ayat 77 memulai dengan kritik tajam terhadap mereka yang menyekutukan Allah namun mengklaim mengikuti ajaran Nabi Isa AS. Inti pesannya adalah penekanan bahwa sifat Allah yang Maha Esa dan tidak beranak adalah fundamental. Kesalahan dalam memahami esensi tauhid ini membawa konsekuensi besar.

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebihan (melampaui batas) dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, hanyalah seorang Rasul Allah dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: 'Tuhan itu tiga', berhentilah, itu lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari beranak dan memilikai sesuatu. Bagi-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara." (QS. Al-Maidah: 77)

Ayat ini mengajarkan pentingnya moderasi (ghuluw) dalam beragama. Batas-batas kebenaran harus dijaga agar keyakinan tidak melenceng karena mengikuti hawa nafsu atau tradisi yang menyesatkan. Relevansinya hari ini adalah ajakan untuk kembali pada pemahaman yang lurus dan berbasis wahyu, bukan emosi atau paham kelompok yang sudah menyimpang.

Karakteristik Orang yang Sesat (Al-Maidah: 78)

Ayat 78 melanjutkan kritik tersebut dengan menjelaskan nasib mereka yang melampaui batas. Dinyatakan bahwa orang-orang kafir di antara Bani Israil yang tidak beriman telah dikutuk oleh Nabi Daud dan Nabi Isa. Ini bukan sekadar kutukan, melainkan penegasan konsekuensi logis dari penolakan terhadap kebenaran Ilahi. Mereka yang kufur dan melampaui batas menjadi terasing dari rahmat Allah.

Prinsip Toleransi dan Keadilan Sosial (Al-Maidah: 79-80)

Setelah membahas kesalahan akidah, ayat-ayat berikutnya bergeser pada dimensi sosial. Ayat 79 menggambarkan betapa buruknya ketika sekelompok manusia membiarkan sesamanya melakukan kemungkaran, dan ayat 80 menggambarkan janji perlindungan dan surga bagi orang-orang yang taat.

Namun, yang paling menonjol dalam konteks hubungan antaragama adalah pesan dalam ayat 82, yang sering dikutip terkait kedekatan hati orang-orang yang beriman dengan Muslim. Namun, kita perlu melihat ayat 79-80 sebagai landasan perilaku. Ayat 79 mengingatkan bahwa orang-orang yang melakukan kezaliman dan kejahatan tidak akan mendapatkan perlakuan istimewa, meskipun mereka adalah rekan atau kerabat. Keadilan harus ditegakkan di atas segalanya, bahkan di atas ikatan solidaritas kelompok yang tidak sejalan dengan prinsip kebenaran.

Kedekatan Hati dan Kesamaan Prinsip (Al-Maidah: 82)

Ayat 82 seringkali menjadi sorotan utama dalam pembahasan hubungan Islam dan Kristen (Nasrani):

وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ

Dan sesungguhnya kamu akan mendapati bahwa orang-orang yang paling dekat kemesraannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini adalah orang Nasrani." Yang demikian itu, karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, dan (karena) mereka (para pendeta dan rahib itu) tidak menyombongkan diri. (QS. Al-Maidah: 82)

Mengapa mereka dianggap paling dekat? Ayat tersebut memberikan dua alasan utama: adanya para pendeta (qissisin) dan para rahib (ruhban), serta ketiadaan kesombongan (la yastakbirun). Ini menunjukkan bahwa kedekatan hati tidak hanya didasarkan pada klaim nama agama, tetapi pada kualitas spiritual dan kerendahan hati. Para rahib dan pendeta yang benar-benar mendalami ajaran kesucian dan mengamalkannya cenderung memiliki kerendahan hati yang memungkinkan mereka menerima kebenaran hakiki yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam konteks modern, ayat-ayat 77 hingga 82 adalah cetak biru tentang bagaimana bersikap dalam beragama: teguh pada tauhid, menjauhi sikap berlebihan, berlaku adil, dan menghargai kerendahan hati di mana pun ia ditemukan. Mereka yang menunjukkan ketulusan spiritual dan menolak kesombongan adalah mereka yang paling potensial untuk memiliki kedekatan dan kemesraan hati dengan kaum Muslimin yang beriman sejati.

🏠 Homepage